PKS Tolak Proyek Pengadaan Laptop Rp. 17 Trilliun, Ini Alasannya

Jakarta (30/7) – Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahmy Alaydroes menolak program Mendikbud-Ristek Nadiem Makariem terkait pengadaan laptop dan alat-alat TIK lainnya dengan anggaran Rp17,42 triliun hingga 2024.

Pihaknya masih mempertanyakan efektifitas program ini dalam peningkatan dan pemerataan mutu sekolah.

Fahmy pun memaklumi bahwa pandemi Covid-19 memaksa sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran secara online, memanfaatkan teknologi internet dan digital.

“Sayangnya, menggunakan teknologi digital berbasis internet masih banyak kendala. Pertama, infrastruktur jaringan internet masih belum merata, banyak daerah yang belum terjangkau jaringan internet (blank spot) ataupun tidak stabil (lemot),” kata Fahmy dalam keterangannya, Jumat (30/7/2021).

Menurutnya, konfisi geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari kepulauan, menjadi tantangan karena kesulitan membangun fasilitas jaringan di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Dia memaparkan, berdasarkan laporan Kemenkominfo terdapat sekitar 9.113 daerah yang tidak mendapat jaringan 4G, dan 3.435 daerah non 3T yang juga belum mendapat akses jaringan tersebut.

“Jika ditotal, ada sekitar 12.548 daerah blankspot di Indonesia. Tentu saja akibatnya pembelajaran daring tidak dapat berjalan efektif, dan sering terhambat,” ujarnya.

Fahmy juga menyoroti kemampuan guru dan sekolah dalam menggunakan dan mengembangkan sumber daya serta tata kelola teknologi digital yang masih belum merata.

Dia menilai masih banyak guru-guru yang memerlukan pelatihan peningkatan kemampuan mendayagunakan perangkat TIK untuk pembelajaran. Akibatnya, kata Fahmy, pembelajaran daring menjadi kurang berkembang, membosankan dan meningkatkan beban.

Selain itu, Fahmy menyoroti pembengkakan pembiayaan pembelajaran daring. Alhasil, kata dia, sebagian besar orangtua siswa sangat terbebani.

“Harus ada tambahan biaya pulsa agar putera/puteri mereka dapat mengikuti pembelajaran daring yang diselenggarakan oleh sekolah. Dengan kondisi ekonomi yang semakin menekan, tentu saja mengeluarkan biaya untuk membeli pulsa menjadi beban tersendiri. Akibatnya, banyak siswa yang akhirnya tidak dapat mengikuti pembelajaran daring secara konsisten, bahkan memaksa sebagian siswa putus sekolah,” ungkap Fahmy.

Menurut dia, kebijakan penyediaan laptop dan alat TIK lainnya kepada guru dan sekolah dengan anggaran yang lumayan besar, harus diikuti dikawal dengan seksama dan diiringi dengan program-program pendamping yang mendukungnya.

“Jangan sampai pengadaan perlengkapan penunjang pembelajaran berbasis teknologi digital itu menjadi kurang efektif, bahkan sia-sia. Anggaran negara yang sangat besar harus dipastikan memberi manfaat yang optimal bagi kepentingan rakyat,” tegas Fahmy.

Kemendikbud, ungkapnya, harus bekerjasama dengan dinas-dinas Pendidikan di provinsi atau kota/kabupaten, memastikan penyalurannya sesuai dengan aturan, dan kemudian dapat digunakan sebaik-baiknya untuk memajukan mutu pembelajaran.

“Dan, yang juga mesti diawasi bersama oleh kita adalah, jangan sampai proses pengadaan Laptop dan Alat TIK lainnya ini, dengan anggaran biaya yang super jumbo ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang hendak memburu dana APBN untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, waspadalah !,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makariem menyebutkan, peralatan TIK yang hendak dibeli dan dikirim ke berbagai sekolah di Indonesia merupakan produk dalam negeri (PDN).

Pengembangan laptop ini dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) bersama Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berkolaborasi dan menjalin kerja sama dengan industri.

(Sumber: Bisnis.com)